Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Agustus 2012

Alur Film Rio (In English)

Plot Rio (Film)

A Blue Spix's Macaw wearing a yellow scarf is surrounded by other birds and animals from the film. They sit on a sandy beach with beachgoing tourists in the background, facing away. The weather is mostly sunny, with one cloud in the sky. The text reads "From the creators of Ice Age: RIO"

In Brazil, various exotic birds are smuggled out of the country. In Moose Lake, Minnesota, a crate with a male blue macaw hatchling falls out of a truck and is found by Linda Gunderson, who names him Blu. Fifteen years later, Blu is unable to fly and is ridiculed by the Canada Geese that come by the outside of Linda's bookstore.

One day, ornithologist Túlio Monteiro invites Blu and Linda to Rio de Janeiro on the condition that Blu, who is the last male of his species, mates with a female macaw. Linda accepts and they fly to Rio, where Blu meets a Red-crested Cardinal named Pedro and his Yellow Canary friend Nico. At Túlio's aviary, Blu falls in love with Jewel, a fiercely independent blue macaw longing to flee into the wilderness. The macaws are captured by Fernando, an impoverished orphan boy, and a Sulphur-crested Cockatoo named Nigel, both of whom work for a group of smugglers led by Marcel. Nigel tells the macaws that he vowed to smuggle exotic birds after his role had been replaced on a television program. Blu and Jewel are able to escape and flee into a jungle.

Fernando meets Linda and Túlio and tells them that Marcel forced him to capture birds, before cooperating with the two to find Blu. Meanwhile, Blu and Jewel meet a Toco toucan named Rafael, who offers to take them to his bulldog friend Luiz to remove their leg chain. He tries to teach Blu how to fly, before they meet up with Pedro and Nico. Nigel hires a horde of thieving marmosets to capture Blu and Jewel. Pedro and Nico take Blu and Jewel to a bird's Rio-style party, where they perform a duet, but are encountered by the marmosets. Their bird friends fight them while Blu's group escapes. Fernando takes Linda and Túlio to the smugglers hideout, where they discover that Blu has escaped. Marcel explains that he will use the Rio Carnival parade to capture Blu and Jewel.

Meanwhile, Blu and the others meet Luiz, who releases the chain holding Blu and Jewel; and the two macaws decide to go their separate ways after a heated argument. When Blu and Rafael learn from Pedro and Nico that Nigel captured Jewel, they rush to the carnival to rescue her, while Linda and Túlio organize a rescue attempt for the birds.

As Linda and Túlio pose as dancers in blue macaw costumes, Marcel uses Nigel to capture the birds. On board Marcel's Short SC.7 Skyvan, the macaws release the captive birds, but Nigel injures Jewel. Blu deals with Nigel, and the smugglers flee the plane. Unable to fly, Jewel slips out of the plane and falls towards the ocean. Blu jumps out of the plane to rescue her and receives a kiss from her after which he discovers that he is able to fly. Later, Linda and Túlio adopt Fernando, heal Jewel, and organize a sanctuary to protect the jungle from smugglers. Blu and Jewel raise baby birds together and celebrate with all their bird friends, and the smugglers get sent to prison.


Kamis, 16 Agustus 2012

Cerita Tentang Kakek Penjual Amplop di ITB

Kisah Kakek Penjual Amplop di ITB. Kisah nyata ini ditulis oleh seorang dosen ITB bernama Rinaldi Munir mengenai seorang kakek yang tidak gentar berjuang untuk hidup dengan mencari nafkah dari hasil berjualan amplop di Masjid Salman ITB. Jaman sekarang amplop bukanlah sesuatu yang sangat dibutuhkan, tidak jarang kakek ini tidak laku jualannya dan pulang dengan tangan hampa. Mari kita simak kisah Kakek Penjual Amplop di ITB.


Kakek Penjual Amplop di ITB
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang Kakek tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun Kakek itu tetap menjual amplop. Mungkin Kakek itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.

Kehadiran Kakek tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran Kakek tua itu.

Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat Kakek tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu Kakek itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri Kakek tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkus plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi Kakek tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.

Kakek itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.

Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Kakek itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Kakek cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si Kakek tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, Kakek tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.

Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat Kakek tua itu untuk membeli makan siang. Si Kakek tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “Kakek-Kakek tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.

Si Kakek tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.

Dalam pandangan saya Kakek tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si Kakek tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.

Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si Kakek tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si Kakek tua.

Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si Kakek tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.

Mari kita bersyukur telah diberikan kemampuan dan nikmat yang lebih daripada kakek ini. Tentu saja syukur ini akan jadi sekedar basa-basi bila tanpa tindakan nyata. Mari kita bersedekah lebih banyak kepada orang-orang yang diberikan kemampuan ekonomi lemah. Allah akan membalas setiap sedekah kita, amiin. Amin.

*copas dari fb teman yg kuliah di ITB..
semoga mengispirasi..

Selasa, 08 Mei 2012

Cerita Gadis Berumur 15 Tahun




Kisah ini terjadi di suatu pagi yang cerah, yaa.. mungkin tidak begitu
cerah untuk seorang ayah yang kebetulan memeriksa kamar putrinya...

Dia mendapati kamar itu sudah rapi, dengan selembar amplop bertuliskan untuk ayah di atas kasurnya.. perlahan dia mulai membuka surat itu...




Quote:

Ayah tercinta,
Aku menulis surat ini dengan perasaan sedih dan sangat menyesal.
Saat ayah membaca surat ini, aku telah pergi meninggalkan rumah.
Aku pergi bersama kekasihku, dia cowok yang baik, setelah bertemu dia.. ayah juga pasti akan setuju meski dengan tatto2 dan piercing yang melekat di tubuhnya, juga dengan motor bututnya serta rambut gondrongnya.
Dia sudah cukup dewasa meskipun belum begitu tua (aku pikir jaman sekarang 42 tahun tidaklah terlalu tua). Dia sangat baik terhadapku, lebih lagi dia ayah dari anak di kandunganku saat ini. Dia memintaku untuk membiarkan anak ini lahir dan kita akan membesarkannya bersama.

Kami akan tinggal berpindah-pindah, dia punya bisnis perdagangan extacy yang sangat luas, dia juga telah meyakinkanku bahwa marijuana itu tidak
begitu buruk. Kami akan tinggal bersama sampai maut memisahkan kami.
Para ahli pengobatan pasti akan menemukan obat untuk AIDS jadi dia
bisa segera sembuh. Aku tahu dia juga punya cewek lain tapi aku percaya dia
akan setia padaku dengan cara yang berbeda.

Ayah.. jangan khawatirkan keadaanku. Aku sudah 15 tahun sekarang, aku bisa
menjaga diriku. Salam sayang untuk kalian semua. Oh iya, berikan bonekaku
untuk adik, dia sangat menginginkannya.

----


Masih dengan perasaan terguncang dan tangan gemetaran, sang ayah membaca lembar kedua surat dari putri tercintanya itu...

Lembar kedua..


Quote:




Ayah... tidak ada satupun dari yang aku tulis di atas itu benar, aku hanya
ingin menunjukkan ada ribuan hal yg lebih mengerikan daripada nilai
raportku yg buruk. Kalau ayah sudah menandatangani raportku di atas meja,
panggil aku ya...

Aku tidak kemana2 saat ini aku ada di
tetangga sebelah..... ..


Sumber: http://jopiesihebadnih.blogspot.com